Rabu, 26 April 2017

Hadis dalam jual beli

I.            LATAR BELAKANG
Rasulullah merupakan contoh tauladan bagi kita sebagai umat islam. Semua ucapan, sikap dan perbuatan Rasul mengajarkan kita tentang ajaran islam sekaligus contoh bagi kita untuk bertindak ataupun bersikap. Ajaran islam tersebut memerintahkan untuk menjalin hubungan baik secara vertikal maupun  horizontal, yakni hablu min Allah wa hablu min al-nas. Rasul selalu mengajarkan kita untuk saling menghormati dan menghargai antar sesama.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Manusia masih memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kehidupannya. Satu sama lain saling membantu. Oleh karena itu, kita diperintah untuk berbuat baik antar sesama, selain menjalin hubungan dengan Allah. Rasul pun telah menjelaskan mengenai aturan-aturan ataupun etika dalam hidup bermasyarakat.Salah satunya aturan mengenai jual-beli.
Jual-beli merupakan salah satu kegiatan muamalah yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masalah jual-beli ini, Rasulullah pun telah menjelaskan mengenai etika berdagang, menunjukkan mengenai mana jual-beli yang diperbolehkan dan mana jual-beli yang tidak diperbolehkan. Sehingga antara penjual ataupun pembeli tidak ada yang dirugikan.Karena unsur yang terpenting dalam jual-beli adalah kerelaan antara kedua belah pihak, yaitu salah satu pihak tidak ada yang rugi. Sehingga perlu kita mengetahui bagaimana etika dalam jual-beli yang sebenarnya.
II.            RUMUSAN MASALAH
Pengertian jual beli
Macam-macam jual beli
Macam-macam jual beli yang dilarang dan yang sah
Rukun jual beli
Etika jual beli
Akad transaksi dalam etika jual beli
Asas-asas jual beli
Syarat-syarat jual beli
Hadits tentang larangan jual beli Mulamasah, Mudhabanah dan Muhakolah
Jual beli ijon
Jual beli wafa'
Jual beli ghoror


III.            PEMBAHASAN
PENGERTIAN JUAL BELI
JUAL BELI
Hadist Ke-1
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنهما عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال إذا تبايع الر جلا ن فكل واحد منهما بالخيار مالميتفرقا وكانا جميعا أويخير أحدهما الأ خر فتبا يعا على ذلك فقد وجب البيع وإن تفر قا بعد أن يتبا يعا ولم يترك واحد منهما البيع فقد وجب البيع
“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Rasulillahshallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Jika dua orang saling berjual beli, maka masing-masing diantara keduanya mempunyai hak pilih selagi keduanya belum berpisah, dan keduanya sama-sama mempunyai hak, atau salah seorang diantara keduanya memberi pilihan kepada yang lain”. Beliau bersabda, “Jika salah seorang diantara keuanya memberi pilihan kepada yang lain, lalu keduanya menetapkan jual beli atas dasar pilihan itu, maka jual beli menjadi wajib”. (HR Bukhari – Muslim)
Hadist Ke-2
عن حكيم بن حزام رضى الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه و سلم البيعان بالخيارمالم يتفرقا او قال حتى يتفر قا فإن صدقا وبينا برك لهما في بيعهما وإن كتماو كذ با محقت بر كت بيعهما
“Ada hadist yang semakna dari hadist Hakim bin Hizam Radhiyallahu Anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Dua orang yang berjual beli mempunyai hak pilih selagi belum saling berpisah”, atau beliau bersabda, “Hingga keduanya saling berpisah, jika keduanya saling jujur dan menjelaskan, maka keduanya diberkahi dalam jual beli itu, namun jika keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, maka barakah jual beli itu dihapuskan”. (HR Bukhari – Muslim)



Kesimpulan Hadist:
Penetapan hak pilih ditempat bagi penjua dan pembeli, untuk dilakukan pengesahan jual beli atau pembatalannya.
Temponya ialah semenjak jual beli  dilaksanakan hingga keduanya saling berpisah dari tempat itu.
Jual beli mengharuskan pisah badan dari tempat dilaksanakan akad jual beli.
Jika penjual dan pembeli sepakat untuk membatalkan akad setelah akad disepakati dan sebelum berpisah, atau keduanya saling melakukan jual beli tanpa menetapkan hak pilih bagi keduanya, maka akad itu dianggap sah, karena hak itu menjadi milik mereka berdua, bagaimana keduanya membuat kesepakatan, terserah kepada keduanya.
Perbedaan antara hak Allah Swt dan yang semata merupakan hak anak Adam, bahwa apa yang menjadi hak Allah Swt, pembolehannya tidak cukup dengan keridhaan anak Adam, seperti akad riba. Sedangkan yang menjadi hak anak Adam diperbolehkan menurut keridhaannya, yang diungkakan karena hak itu tidak melangggarnya.
Pembuat syariat tidak menetapkan batasan untuk perpisahan. Dasarnya adalah tradisi. Apa yang dikenal manusia sebagai perpisahan, maka itulah ketetapan jual beli. Keluar dari rumah kecil,naik ke bagian atas, menyingkir ke tempat lain atau yang semisalnya, bisa dianggap perpisahan tentang tempo untuk menetapkan hak pilih dan akad.
Para ulama mengharamkan penjual atau pembeli meninggalkan tempat (sebelum akad ditetapkan),karena dikhawatirkan kan terjadi pembatalan. Ahlus-Sunan meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Dan tidak dihalalkan baginya (penjual atau pembeli) meninggalkan yang lain, karena dikhawatirkan hal itu merupakan permintaan untuk membatalkan jual beli”. Hal itu menggambarkan pengguguran terhadap hak orang lain.
Jujur dalam mu’amalah dan menjelaskan keadaan barang dagangan merupakan sebab barakah di dunia dan di akhirat, sebagaimana dusta, bohong dan menutup-nutupi cacat merupakan sebab hilangnya barakah. Hal ini dapat dirasakan secara nyata di dunia. Orang-orang yang sukses dalam bisnisnya dan yang laku barang dagangannya ialah mereka yang jujur dalam mu’amalah yang baik. Peniagaan tidak merugi dan bangkrut melainkan karena pengkhianatan. Disamping itu, orang yang jujur mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah Swt.

Jual Beli bisa didefinisikan sebagai: Suatu transaksi pemindahan pemilikan suatu barang dari satu pihak (penjual) ke pihak lain (pembeli) dengan imbalan suatu barang lain atau uang.
Atau dengan kata lain, jual beli itu adalah ijab dan qabul,yaitu suatu proses penyerahan dan penerimaan dalam transaksi barang atau jasa.
Islam mensyaratkan adanya saling rela antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah menjelaskan hal tersebut:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya Jual Beli itu haruslah dengan saling suka sama suka.”
Oleh karena kerelaan adalah perkara yang tersembunyi, maka ketergantungan hukum sah tidaknya jual beli itu dilihat dari cara-cara yang nampak (dhahir) yang menunjukkan suka sama suka, seperti adanya ucapan penyerahan dan penerimaan.
MACAM-MACAM JUAL BELI
Beberapa macam jual beli yang diakui Islam antara lain adalah:
1. Jual beli barang dengan uang tunai
2. Jual Beli barang dengan barang (muqayadlah/barter)
3. Jual beli uang dengan uang (Sharf)
4. Jual Utang dengan barang, yaitu jual beli Salam (penjualan barang dengan hanya menyebutkan ciri-ciri dan sifatnya kepada pembeli dengan uang kontan dan barangnya diserahkan kemudian)
5. Jual beli Murabahah ( Suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Misalnya seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu. Karakteristik Murabahah adalah si penjual harus memberitahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.”
Untuk dapat mengetahui dan memahami bentuk-bentuk transaksi jual beli yang dilakukan oleh umumnya manusia, apakah hukumnya sah atau tidak, penghasilan yang diperolehnya halal atau tidak, maka berikut ini kami akan sebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli.
MACAM-MACAM JUAL BELI YANG DILARANG DAN YANG SAH

“Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah sebagian dari kamu memakan (mengambil) harta milik sebagian di antaramu dengan cara yang tidak benar (batil), kecuali jika dengan jalan perniagaan yang didasarkan atas kerelaan antara kedua belah pihak diantara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha Kekal rahmat-Nya.”( An-Nisa' : 29 )
Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang secara bahasa adalah tukar menukar, sedangkan menurut istilah adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’ atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak. Hukum melakukan jual beli adalah boleh (جواز) atau (مباح), sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275:

”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dan hadist  Nabi yang berasal dari Ruf’ah bin Rafi’ menurut riwayat al-Bazar yang disahkan oleh al-Hakim:
أن النبى صلى الله عليه وسلم سئل أى الكسب أطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik; nabi berkata: “Usaha seseorang dengan  tangannya dan jual beli yang mabrur”.
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat macam :
1.      Jual beli salam (pesanan)
Yaitu jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
2.      Jual beli Muqayyadah (barter)
Yaitu jual beli dengan cara menukar barang dengan barang.
3.      Jual beli Muthlaq
Yaitu jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat penukaran.
4.      Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Yaitu jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.[1]

"Orang-orang yang makan (bertransaksi dengan) riba, tidak dapat berdiri malainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhan(nya). Keadaan mereka yang demikian itu disebabkn karena mereka berkata 'jual beli tidak lain kecuali sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka barang siapa yang telah sampai kepadanya peringatan dari tuhannya (menyangkut riba), lalu berhenti (dari praktik riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (kembali) kepada allah. Adapun yang kembali (bertransaksi riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya"(Q.S. Al-Baqarah : 275)
Dalam ayat ini tidak hanya melarang praktek riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka. Orang-orang yang makan, yakni bertransaksi dengan riba, baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil, tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktivitas, melainkan seperti berdrinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhan(nya).
Tidak menutup kemungkinan mamahaminya sekarang dalam kehidupan dunia.Mereka yang melakukan praktik riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung, dan berada dalam ketidakpastian disebabkan pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan penambahannya. Lihatlah keadaan manusia dewasa ini. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat, tetapi lihat juga kehidupan masyarakat, lebih-lebih yang mempraktikkan riba. Di sana mereka hidup dalam kegelisahan, tidak tahu arah, bahkan aktivitas yang tidak rasional mereka lakukan.
Bagaimana dengan perumpamaan yang dilukiskan sebagai sentuhan setan terhadap mereka ?Ada dua ulama yang memahami ayat ini sebagai berbicara tentang manusia yang kesurupan sambil menguatkan pandangannya dengan berbagai ayat dan hadits yang intinnya menyatakan bahwa ada setan yang selalu mendampingi manusia.
Tidakkah Anda pernah melihat kata mereka seseorang yang menjadi demikian kuat berbicara dengan berbagai bahasa asing, tetapi dalam keadaan normalnya lemah dan tidak mengerti, kecuali bahasa ibunya ? Apakah yang menjadikan dia mampu kalau bukan jin yang telah merasuk kedalam tubuhnya ?
Ibn 'Abbas meriwayatkan bahwa seseorang wanita membawa anaknya kepada Rasulullah saw seraya berkata, "Sesungguhnya putraku menderita gangguan ( gila ) yang menimpanya setiap kami makan siang dan malam," maka Rasulullah saw mengusap dadanya, dan berdoa untuk kesembuhannya. Ia kemudian muntah dan keluarlah sesuatu seperti anjing hitam. Dan sembuhlah ia" ( HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi)
Kalau air dan makanan dapat masuk kedalam tubuh manusia, sedang tingkat kehalusan jin, apa yang menghalangi jin masuk ? Bukankah angin pun dapat masuk ke tubuh manusia ?Demikian dalil atau dalih mereka yang memahami ayat dan hadits-hadits di atas dalam arti hakiki.[2]
Jual beli yang dilarang dalam islam sangatlah banyak. Jumhur ulama tidak membedakan antara fasid dan batal. Dengan kata lain, menurut Jumhur Ulama, hukum jual-beli terbagi menjadi dua, yaitu jual beli shahih dan jual beli fasid.
Jual beli yang diharamkan dalam islam adalah sebagai berikut :
1.      Menjual barang yang sudah dibeli oleh orang lain.
2.      Menjual minuman keras dan yang sejenisnya (narkoba).
3.      Menjual barang najis.
4.      Gharar, yaitu jual beli yang tidak jelas, mengandung unsur ketidak pastian/spekulasi dan penipuan. Diantaranya :
a.       Hashat, jual beli tanah yang tidak jelas luasnya
b.      Nitaj, jual beli hasil binatang ternak sebelum memberikan hasil
c.       Mulamasah dan Munabadzah
d.      Muhaqolah dan Muzabanah
e.       Mukhadarah
f.       Habalil Habalah, jual beli anak unta yang masih dalam perut induknya
g.      Talqi Jabal, petani membawa hasil panen kekota, kemudian orang kota menjual dengan harga yang ditetapkan sendiri
h.      Hadir al-Ibad, monopoli dengan tujuan harga yang tinggi
i.        Najsy, menjual barang karena mendengar akan naik lalu dijual dengan harga yang tinggi ketika harga sudah naik.
j.        Ikhtikar, penimbunanbaranghanyauntukmenaikkanhargadengansengaja.[3]
5.      Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan
6.      Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul)
7.      Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual
8.      Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar[4]
9.      Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
10.  Menawar barang yang sedang ditawar orang lain
11.  Berjualan ketika adzan jumat dikumandangkan
12.  Berdagang alat-alat musik dan hiburan[5]

RUKUN JUAL BELI:
Jual beli memiliki 3 (tiga) rukun:
1.Al- ‘Aqid (orang yang melakukan transaksi/penjual dan pembeli),
2. Al-‘Aqd (transaksi),
3. Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang).
ETIKA JUAL BELI
Menjauhkan yang Haram Dalam Jual Beli
(QS Al-An’am [6]: 152)
ولاتقربوا مال آليتيم إلا بالتى هى أحسن حتى يبلغ اشده،وأوفوا آلكيل وآلميزان بالقسط لا نكلف نفسا إلاوسعها وإذا قلتم فا عدلواولوكان ذا قر بى وبعهد الله أوفوا ذلكم و صكم به لعلكم تذ كرون

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnkanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.

(QS Al-Syu’ara [26]: 181)
أوفوا آلكيل ولا تكو نوا من آلمخسرين
Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan.

(QS Al-Syu’ara [26]: 182)
وزنوا با لقسطا س آلمستقيم
Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.

(QS  Al-Syu’ara [26]: 183)
ولا تبخسوا آلناس أشياءهم ولا تعثوا فى آلأرض مفسدين
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela dimuka bumi dengan membuat kerusakan.

(QS Al-Rahman [55]: 8)
ألاتطغوا فى آلميزان
Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.

(QS Al-Rahman [55]: 9)
وأقيموا آلوزن بالقسط ولا تخسروا آلميزان
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.
“jika mereka merusak (melanggar) perjanjian-perjanjian sesudah mereka buat serta mencela (menjelek-jelekkan) agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu. Sebenarnya mereka itu tidak ada harganya (nilainya). Semoga mereka berhenti dari kekafiran” (Q.S At-Taubah : 12)
Jika mereka merusak atau melanggar perjanjian (seperti perjanjian Hudaibiah), yang telah dibuatnya, mencela dan memperolok-olok agamamu, serta menghambat manusia mengikuti jalan Allah, maka mereka itu wajib diperangi, agar kembali insaf. Merekalah gembong-gembong kufur dan pemimpin-pemimpinnya.
Mereka memang telah mencacat Al-Quran dan memburuk-burukkan Nabi seperti apa yang telah dilakukan oleh ahli-ahli syair dari kelompoknya, sehingga karenanya mereka menjadi bingung. Perjanjian-perjanian yang mereka buat itu tidak ada harganya. Sebab perjanjian itu bersifat tipuan semata. Mereka tidak bermaksud menepatinya. Perangilah mereka dengan pengharapan supaya menghentikan kekafirannya, dan tidak lagi suka melanggar perjanjian, ini memberi pengertian bahwa memerangi mereka bukanlah atas dasar mengikuti hawa nafsu atau untuk mencari keuntungan dunia.[7]
Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah. Maka beliaupun bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?”Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.”Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya?!Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku.”(HR. Muslim no. 102)
Dari Hakim bin Hizam radhiallahu’anhu dari Nabi Shallallu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَ
“Kedua orang yang bertransaksi jual beli berhak melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli. Tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan dihapus.”(HR. Al-Bukhari no. 1937 dan Muslim no. 1532)
Abu Hurairah radhiallahu‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu (memang biasanya) melariskan dagangan jual beli namun bisa menghilangkan berkahnya”.(HR. Al-Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1606)
Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَلِفِ فِي الْبَيْعِ فَإِنَّهُ يُنَفِّقُ ثُمَّ يَمْحَقُ
“Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang, karena dia (memang biasanya) dapat melariskan dagangan tapi kemudian menghapuskan (keberkahannya).”(HR. Muslim no. 1607)
Salah satu profesi yang dianjurkan dalam Islam bahkan sering tersebut dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah profesi petani dan pedagang. Karenanya banyak sekali sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berprofesi menjadi petani atau pedagang. Hanya saja, di dalam Islam setiap profesi yang dibenarkan untuk ditempuh tujuannya bukan semata-mata untuk menghasilkan uang atau meraih kekayaan. Akan tetapi yang jauh lebih penting daripada itu adalah untuk mendapatkan keberkahan dari hasil jerih payahnya. Dan keberkahan dari harta bukan dinilai dari kuantitasnya akan tetapi dinilai dari kualitas harta tersebut, darimana dia peroleh dan kemana dia belanjakan.
Karenanya, dalam perdagangan dan jual beli, Islam menuntunkan beberapa etika diantaranya:
1.      Tidak boleh curang dalam jual beli.
2.      Tidak boleh menutupi cacat barang dagangan dari para pembeli.
3.      Menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kebaikan dan kekurangan barang yang dia jual.
4.      Tidak boleh terlalu banyak bersumpah (walaupun sumpahnya benar) dengan tujuan melariskan dagangannya. Karena terlalu sering menyebut nama Allah pada jual beli atau pada hal-hal sepele menunjukkan kurangnya pengagungan dia kepada Allah.
5.      Haramnya bersumpah dengan sumpah dusta, hanya untuk melariskan dagangannya.[8]

Seperti yang kita ketahui bahwa profesi yang paling disenangi Allah adalah pofesi sebagai Petani dan Pedagang, bahkan Rasulullah adalah seorang pedagang. Profesi ini pun diikuti oleh sahabat rasulullah yang sebagian besar adalah petani atau pedagang. Setiap profesi bukan semata mata untuk mencari dan menghasilkan uang dan kekayaan untuk keluarga dan diri sendiri, tetapi dalam islam yang jauh lebih penting adalah keberkahan dalam setiap rejeki itu sendiri. Keberkahan tersebut bisa didapat dari etika seorang pedagang tersebut menawarkan barang atau jasanya seperti bagaimana cara seseorang tersebut mendapatkan uang apakah barang atau jasa yang ditawarkan itu halal atau tidak, akad yang digunakan sah atau tidak serta qualitas barang atau jasa yang ditawarkan layak atau tidak.
“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjid dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasar.” (H.R. Muslim) Hadist tersebut menjelaskan bahwa salah satu tempat yang dibenci allah adalah pasar. Pasar adalah tempat para pedagang melakukan pekerjaan jual beli. Definisi pasar ini sendiri adalah tempat dimana seorang penjual dan pembeli melakukan akad untuk melaksanakan perdagangan, jadi pasar bukan hanya pasar-pasar tradisional. Dari penjelasan tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa profesi yang disenangi Allah memiliki tantangan yang sulit karena dalam pasar dapat terjadi tindakan yang tidak sesuai dengan etika berbisnis, seperti mengurangi timbangan, menutupi cacat barang dagangan, penipuan, berbuat curang dan lain sebagainya.
Sebagai contoh kasus sebuah tata cara dagang yang tidak beretika seperti  beberapa pedagang asongan yang seakan memaksa pengemudi angkot untuk membeli barangnya seperti tisu, air mineral, dll. Mereka terkadang langsung melempar barang dagagannya di dashboard mobil angkot tanpa si supir meminta. Disini terjadi pemaksaan seorang pembeli untuk membeli barang yang belum tentu dia butuhkan atau inginkan. Dengan peaksaan tersebut tentu uang yang didapat pedagang tersebut belum tentu barokah karena didapat dari hasil memaksa pembeli. Islam menerangkan betapa pentingnya profesi pedagang tetapi islam memiliki etika dalam menerapkan perdagangan atau jual beli. Etika harus dihormati dan dipatuhi oleh semua pedagang sehingga mencapai kemuliyaan dan senatiasa mendapatkan barakah dari apa yang dilakukan.
Beberapa etika berbisnis dalam islam adalah :
1.   Tidak boleh curang dalam jual beli
2.   Tidak boleh menutupi cacat barang dagangan dari para pembeli.
3.   Menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kebaikan dan kekurangan barang yang dia jual.
4.   Tidak boleh terlalu banyak bersumpah -walaupun sumpahnya benar- dengan tujuan melariskan dagangannya. Karena terlalu sering menyebut nama Allah pada jual beli atau pada hal-hal sepele menunjukkan kurangnya pengagungan dia kepada Allah
5.   Haramnya bersumpah dengan sumpah dusta, hanya untuk melariskan dagangannya.
Hadits Terkait :
1.    Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
 “Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang yang mana apabila berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila berjanji tidak mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila menjual tidak berlebihan (dalam menaikkan harga), apabila berhutang tidak menunda-nunda pelunasan dan apabila menagih hutang tidak memperberat orang yang sedang kesulitan.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, Bab Hifzhu Al-Lisan IV/221).
2.    “Rasulullah SAW melarang sistem jual beli mulamasah (wajib membeli jika pembeli menyentuh barang dagangan) dan munabadzah (sistem barter antara dua orang dengan melemparkan barang dagangannya masing-masing tanpa memeriksanya) (H.R. Muslim)
3.   Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu dia berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah. Maka beliaupun bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya?! Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim no. 102)
4.   Dari Abu Qtadah Al-Anshari radhiallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam besabda: “Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang, karena dia (memang biasanya) dapat melariskan dagangan tapi kemudian menghapuskan(keberkahannya).”(HR.Muslim,no.1607)
AKAD TRANSAKSI DALAM ETIKA JUAL BELI
“Hai orang-orang yang beriman.Sempurnakanlah segala rupa akad yang telah kamu lakukan. Telah dihalalkan bagimu binatang-binatang berkaki empat (unta, sapi, kerbau, kambing, biri-biri dan sebagainya), kecuali apa yang akan dibacakan (akan deterangkan satu persatu) tentang keharamannya pada waktu kamu tidak hala berburu dan kamu dalam keadaan ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan apa yang dikehendaki”(Q.S Al-Maidah : 1)
Sempurnakanlah berbagai bentuk akad (janji, kontrak) yang telah kamu akadkan dengan Allah, atau antara kamu dengan dirimu sendiri, atau antara kamu dengan sesama manusia. Baik berupa perintah maupun larangan syara’ atau akad diantara kamu, seperti jual beli dan pernikahan.
Dasar semua akad dalam islam adalah firman “aufu bil ‘uqudi” yang artinya sempurnakanlah semua rupa akad. Maka wajib bagi tiap mukmin menyempurnakan akad dan menepati janji, sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.Yang penting, akad tidak berlawanan dengan kehendak syara’.[9]
Bila kita memperhatikan tujuan atau maksud berbagai akad yang terjadi antara dua orang atau lebih, maka kita dapat membagi berbagai akad tersebut menjadi tiga macam
Pertama: Akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan materi, sehingga setiap orang yang menjalankan akad ini senantiasa sadar dan menyadari bahwa lawan akadnya sedang berusaha mendapatkan keuntungan dari akad yang ia jalin.
Pada akad ini biasanya terjadi suatu proses yang disebut dengan tawar-menawar. Sehingga setiap orang tidak akan menyesal atau terkejut bila dikemudian hari ia mengetahui bahwa lawan akadnya berhasil memperoleh keuntungan dari akad yang telah terjalin dengannya. Syari’at Islam pada prinsipnya membenarkan bagi siapa saja untuk mencari keuntungan melalui akad macam ini.
Contoh nyata dari akad macam ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa, syarikat dagang, penggarapan tanah (musaqaah), dll.
Kedua: Akad yang bertujuan untuk memberikan perhargaan, pertolongan, jasa baik atau uluran tangan kepada orang lain. Dengan kata lain, akad-akad yang bertujuan mencari keuntungan non materi.
Biasanya yang menjalin akad macam ini ialah orang yang sedang membutuhkan bantuan atau sedang terjepit oleh suatu masalah. Oleh karena itu, orang yang menjalankan akad ini tidak rela bila ada orang yang menggunakan kesempatan dalam kesempitannya ini, guna mengeruk keuntungan dari bantuan yang ia berikan.
Karena tujuan asal dari akad jenis ini demikian adanya, maka syari’at Islam tidak membenarkan bagi siapapun untuk mengeruk keuntungan darinya.
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. Al-Baqarah: 276)
Pada ayat ini Allah Ta’ala mengancam para pemakan riba dan kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan ganjaran yang akan diterima oleh orang yang bersedekah. Ini adalah isyarat bagi kita bahwa praktek riba adalah lawan dari shadaqah. Isyarat ini menjadi semakin kuat bila kita mencermati ayat-ayat selanjunya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ . فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ . وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنكُنتُمْ تَعْلَمُون
“Hai orang-orang yag beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 278-280)
Oleh karena itu dinyatakan dalam satu kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fiqih:
كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.”
Contoh nyata dari akad macam ini ialah: akad hutang-piutang, penitipan, peminjaman, shadaqah, hadiyah, pernikahan, dll.
Ketiga: Akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hak yang terhutang. Dengan demikian, akad ini biasanya diadakan pada akad hutang-piutang, sehingga tidak dibenarkan bagi pemberi piutang (kreditur) untuk mengambil keuntungan dari barang yang dijaminkan kepadanya. Bila kreditur mendapatkan manfaat atau keuntungan dari piutang yang ia berikan, maka ia telah memakan riba, sebagaimana ditegaskan pada kaidah ilmu fiqih di atas.
Ditambah lagi, harta beserta seluruh pemanfaatannya adalah hak pemiliknya, dan tidak ada seseorangpun yang berhak untuk menggunakannya tanpa seizin dan kerelaan dari pemiliknya.
لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه. رواه أحمد والدارقطني والبيهقي، وصححه الحافظ والألباني
“Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya.” (Riwayat Ahmad, Ad Daraquthny, Al Baihaqy dam dishahihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Albany)
Dikecualikan dari keumuman hukum ini, bila keuntungan tersebut dipersyaratkan ketika akad jual beli atau sewa-menyewa atau akad serupa dengan keduanya [2] yang dilakukan dengan pembayaran dihutang. (Baca Majmu’ Fatwa Al Lajnah Ad Daimah 14/176-177, fatwa no: 20244)
Misalnya: Bila A menjual mobil kepada B seharga Rp 50.000.000,- dan dibayarkan setelah satu tahun, dengan jaminan sebuah rumah. Dan ketika akad penjualan sedang berlangsung, A mensyaratkan agar ia menempati rumah tersebut selama satu tahun hingga tempo pembayaran tiba, dan B menyetujui persyaratan tersebut, maka A dibenarkan untuk menempati rumah milik B yang digadaikan tersebut. Karena dengan cara seperti ini, sebenarnya A telah menjual mobilnya dengan harga Rp 50.000.000,- ditambah ongkos sewa rumah tersebut selama satu tahun.
Adapun bila akad penjualan telah selesai ditandatangani, maka tidak dibenarkan bagi A untuk menempati rumah tersebut, baik seizin B atau tanpa seizin darinya, sebab bila ia memanfaatkan rumah tersebut, berarti ia telah mendapat keuntungan dari piutang dan itu adalah riba, sebagaimana ditegaskan pada kaedah ilmu fiqih di atas.
Diantara akad yang tergolong kedalam kelompok ini ialah akad pegadaian (rahnu), jaminan (kafalah), persaksian (syahadah) dll.[10]

ASAS-ASAS JUAL BELI
Transaksi ekonomi maksudnya adalah perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi. Misalnya pada kegiatan jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, ataupun kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan.
Dalam buku Ensiklopedia Islam jilid 3, halaman 246 dijelaskan bahwa dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar yang diterapkan oleh Syara' (hukum islam), yaitu :
1.      Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi. Kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara' misalnya adalah memperdagangkan barang haram. Pihak-pihak yang bertransaksi harus memenuhi kewajiban yang telah disepakati dan tidak boleh saling mengkhianati. (Dalam Q.S. Al-Ma'idah, 5: 1)

“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya “.
2.      Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh dengan tanggung jawab, dan tidak menyimpang dari hukum syara' dan adab sopan santun.
3.      Setiap transaksi dilakukan dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. (Dalam Q.S. An-Nisa' 4: 29)
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
4.      Islam mewajibkan agar setiap transaksi dilandasi denagn niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, shingga terhindar dari segala bentuk penipuan dan kecurangan. Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa:
“Aku (Raslullah) melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan.” (H.R Muslim)
5.      'Urf (adat kebiasaan) yang tidak menyimpang dari hukum syara' boleh digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya dalam akad sewa-menyewa rumah. Menurut kebiasaan setempat, kerusakan rumah sewaan merupakan tanggung jawab penyewa. Maka dari itu,pihak yang menyewakan boleh menuntut penyewa untuk memperbaiki rumah sewaannya. Tapi, pada saat transaksi atau terjadinya akad, kedua belah pihak telah sama-sama mengetahui kebiasaan tersebut dan menyepakatinya.[6]




SYARAT-SYARAT JUAL BELI
Hadis ke 23
 عن جابربن عبدالله انه كان يسيرعلى جمل له قد اعيا فاراد ان يسيبه فال فلحقنى النبي صلى الله عليه وسلم فد عالي وضربه فسار سير الم يسر مثله قال بعنيه   بو قية قلت لا ثم بيعنه فبعته بوقية واستثنيت عليه حملانه الى اهلي فلما بلغت  
اتيته باالجمل فنقدني ثمنه ثم رجعت فار سل في اثري فقال اتراني ما كستك لاخد جملك خد جملك ودراهمك فهو لك                                “Dari Jabir bin Abdullah Radhiyaullahu Anhuma, bahwa dia mengendari seekor unta, lalu unta itu menjadi lemas, sehingga dia hendak melepasnya. Dia berata, ‘Lalu nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam menghampiriku, berdoa bagiku dan menepuk untaku, sehingga ia dapat berjalan dengan cara berjalan yang tidak pernah dia lakukan seperti itu saa sekali. ‘Lalu beliau bersabda, ‘Jualaah unta ini kepadaku sehrga satu uqiyah’. Aku berkata, ‘Tidak’. Kemudian beliau bersabda lagi, ‘Juallah ia kepadaku’. Maka akupun menjualanya kepada beliau seharga satu uqiyah dan aku meminta pengecualian untuk tetap membawanya hingga tiba ditengah keluargaku. Setelah aku tiba aku menemui beliau sambil membawa unta lalu beliau membayar harganya, kemuadian aku pulangس Ternyata beliau mengirim utusan untuk menyusulku, lalu bersabda, ‘Apakah engkau mengira aku membujukmu agar aku dapat mengambil untamu ? Ambilah untamu dan juga dirhamu, karena ia milikmu. “(HR.BUKHARI-MUSLIM)
Hadis ke 24
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال نهى رسول الله عليه وسلم ان يبيع حاضر لباد ولا ثنا جشوا ولا يبيع الرجل على اخيه ولا يخطب على خطبة اخيه ولا تسال المراة طلاق اختها لتكفا ما في انا ئها
“Dari Abu Hurairah Radhiyaullahu Anhu, Dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam melarang orang kota menjual bagi orang dusun, janganlah kalian saling memainkan harga lewat calo, janganlah seseorang menjual barang yang dijual saudarnya, janganlah melamar orang yang sudah dilamar saudaranya, dan janganlah seorang wanita meminta talak saudarinya agar dia dapat menumpahkan apa yang ada dalam bejananya’. “(HR BUKAHRI-MUSLIM)
Kesimpulan Hadis
Uraian tentang orang kota menjual barang bagi orang desa, percaloan, dan menjual barang yang dijual saudaranya, Sudah disampaikan dalam hadis diatas. Kesimpulannya sebagai berikut :
Pengharaman melamar orang yang sudah dilamar saudaranya, hingga diketahui bahwa pelamar itu ditolak dan tidak disukai, karena lamaran diatas lamaran dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian serta sangat potensial memutuskan rezeki.
Pengharaman seorang wanita meminta kepada suami untuk menceraikan madunya atau membangkitkan kemarahan suami kepada madunya atau memancing percekcokan diantara keduanya, agar terjadi keributan diantara keduanya, sehingga suami menceraikan madunya. Hal ini haram, karena disana ada kerusakan yang besar, mengakibatkan permusuhan, perselisihan, memutuskan rezeki, yang digambarkan dengan menumpahkan kebaikan yang ada dalam bejananya, sebabnya adalah pernikahan serta kewajiban-kewajiban lain seperti nafkah, pakaian dan hak-hak hubungan suami-istri. Ini merupakan hukum-hukum yang agung dan adab yang tinggi, untuk mengatur keadaan msyarakat, menjauhkannya dari sebab-sebab keburukan, permusuhan dan kebencian, sehingga diisi cinta, kasih sayang, perdamaian dan kebersamaan
Syarat dalam jual beli terbagi ke dalam dua :
1. Syarat yang sah
2. Syarat yang rusak (tidak sah)
Pertama: Syarat yang sah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan konsekuensi akad
Syarat semacam ini harus dilaksanakan karena sabda Rasululloh shallahllahu ‘alaihi wasallam, yang artinya: ”Orang-orang muslim itu berada di atas syarat-syaratmereka.” (Hadits Hasan Sahih dalam Sahih Abu Dawud No. 2062)
Dan karena pada asalnya syarat-syarat itu sah kecuali jika dibatalkan dan dilarang oleh Syariat Islam.
Syarat jual-beli yang sahih mempunyai dua macam:
1. Syarat untuk kemaslahatan akad.
Yaitu syarat yang akan menguatkan akad dan akan memberikan maslahat bagi orang yang memberikan syarat, seperti disyaratkannya adanya dokumen dalam pegadaian atau disyaratkannya jaminan, hal seperti ini akan menenangkan penjual. Dan juga seperti disyaratkannya menunda harga atau sebagian harga sampai waktu tertentu, maka ini akan berfaedah bagi si pembeli. Apabila masing-masing pihak menjalankan syarat ini maka jual beli itu harus dilakukan, demikian pula kalau seorang pembeli mensyaratkan barang dengan suatu sifat tertentu seperti keadaanya harus dari jenis yang baik, atau dari produk si A, karena selera berbeda-beda mengikuti keadaan dari barang tersebut.
Apabila syarat barang yang dijual telah terpenuhi maka wajiblah menjualnya. Akan tetapi jika syarat tersebut tidak sesuai dengan yang dikehendaki, maka bagi pembeli berhak untuk membatalkan atau mengambilnya dengan meminta ganti rugi dari syarat yang hilang (yaitu dengan menuntut harga yang lebih murah, pent), dan juga pembeli bersedia membayar adanya perbedaan dua harga jika si penjual memintanya (dengan harga yang lebih tinggi jika barangnya melebihihi syarat yang diminta, pent)
2. Syarat yang sah dalam jual beli.
Yaitu seorang yang berakad mensyaratkan terhadap yang lainnya untuk saling memberikan manfaat yang mubah dalam jual beli, seperti penjual mensyaratkan menempati tempat penjualan selama waktu tertentu, atau dibawa oleh kendaraan atau hewan jualannya sampai ke suatu tempat tertentu. Sebagaimana riwayat Jabir radhiyallahu anhu bahwa, yang artinya: “Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjual seekor unta dan mesyaratkan menungganginya sampai ke Madinah” (Mutafaq ‘alaihi).
Hadits ini menunjukan bolehnya menjual hewan tunggangan dengan pengecualian (syarat) mengendarainya sampai ke suatu tempat tertentu, maka diqiyaskanlah perkara yang lainnya kepadanya. Demikian pula kalau seandainya pembeli mensyaratkan kepada penjual agar penjual melakukan pekerjaan tertentu atas penjualannya seperti membeli kayu bakar dan mensyaratkan kepada penjualnya untuk membawanya ke tempat tertenu, atau membeli darinya pakaian dengan syarat dia menjahitkannya.
Kedua: Syarat yang rusak (tidak sah)
Jenis ini juga terdiri dari beberapa macam :
1. Syarat yang rusak dan membatalkan pokok akad itu sendri
Misalnya salah seorang dari keduanya (penjual dan pembeli) mensyaratkan dengan syarat yang lain terhadap yang lainnya, seperti mengatakan Aku jual barang ini dengan syarat engkau memberiku ganjaran berupa rumahmu atau mengatakan Aku jual barang ini kepadamu dengan syarat engkau mengikutsertakan aku dalam pekerjaamu atau di rumahmu. Atau juga mengatkaan Aku jual barang ini seharga ini, dengan syarat engkau meminjamiku sejumlah uang, maka syarat ini rusak (tidak sah), dan membatalkan pokok akad itu sendiri, karena larangan Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam terhadap dua jualan diatas penjualan (disahihkan oleh Al Albany dalam Misykatul Mashabih, N0. 2798), sedang Imam Ahmad rahimahullah menafsirkan hadits tersebut dengan apa yang kami sebutkan.
2. Syarat yang rusak dalam jual beli
Yaitu yang membatalkan akad itu sendiri akan tetapi tidak membatalkan jual beli. seperti pembeli mensyaratkan terhadap penjual jika dia rugi terhadap barang dagangannya, dia akan mengembalikannya kepadanya. Atau penjual mensyaratkan kepada pembeli untuk tidak menjual barang dan yang sejenisnya. Maka syarat ini rusak karena menyelisihi konsekuensi akad yaitu pembeli mempunyai hak mutlak terhadap penggunaan barang. Disamping itu karena sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya: “barangsiapa mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah maka syarat itu bathil, meskipun ada seratus syarat” (Mutafaq ‘alaihi). Adapun yang dimaksud dengan Kitab Alloh di sini adalah hukumnya, maka termasuk padanya adalah Sunnah Rasululloh shalallahu ‘alaihi wasallam.
Jual beli tidaklah menjadi batal dengan batalnya syarat ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kisah Barirah (Maula Aisyah Radhiyallahu ‘anha) ketika penjualnya mensyaratkan loyalitas dari Barirah harus kepadanya (penjual) jika dia dibebaskan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membatalkan syarat ini, akan tetapi tidak membatalkan dari akad (jual belinya), dan beliau bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya perwalian (loyalitas) itu bagi yang membebaskannya” (Shahih Al Jami’ : 2226)
Maka semestinya bagi seorang muslim yang sibuk dengan urusan jual beli untuk mempelajari hukum-hukum jual beli menyangkut sah tidaknya syarat-syarat jual beli, sehingga dia berada di atas bashirah (ilmu) dalam mu’amalahnya, sehingga akan terputuslah jalan pertentangan dan perselisihan diantara muslimin. Karena kebanyakan pertentangan dan perselisihan tumbuh dari kebodohan penjual dan pembeli atau salah satu dari keduanya terhadap hukum jual beli, serta mereka membuat syarat-syarat yang rusak (tidak sah)
(Sumber Rujukan: Syarat-Syarat Jual Beli Dan Hukumnya, Oleh Syaikh Shaleh bin Fauzan Abdullah Alu Fauzan)
Ada tiga syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad jual beli:
Pertama: Ridho antara penjual dan pembeli
Jual beli tidaklah sah jika di dalamnya terdapat paksaan tanpa jalan yang benar. Jual beli baru sah jika ada saling ridho di dalamnya sebagaiamana firman Allah Ta’ala,
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka (saling ridho) di antara kalian” (QS. An Nisa’: 29).
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya jual beli dituntut adanya keridhoan” (HR. Ibnu Majah no. 2185. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Namun jika ada pemaksaan dalam jual beli dengan cara yang benar, semisal seorang hakim memutuskan untuk memaksa menjual barang orang yang jatuh pailit untuk melunasi utang-utangnya, maka semisal itu dibolehkan.
Kedua: Orang yang melakukan akad jual beli diizinkan untuk membelanjakan harta.
Mereka yang diizinkan adalah: (1) merdeka, (2) mukallaf (telah terbebani syari’at), (3) memiliki sifat rusydu (dapat membelanjakan harta dengan baik). Sehingga anak kecil, orang yang kurang akal (idiot) dan tidak bisa membelanjakan harta dengan benar, juga orang gila tidak boleh melakukan jual beli, begitu pula dengan seorang budak kecuali dengan izin tuannya.
Catatan: Rusydu menurut mayoritas ulama ada ketika telah mencapi masa baligh. Ketika telah mencapai baligh atau telah tua renta belum memiliki sifat rusydu, maka keadaannya di-hajr, yaitu dilarang untuk melakukan jual beli. Sifat rusydu ini datang bersama masa baligh, namun pada sebagian orang sifat rusydu ini datang telat, ada yang sebentar atau lama setelah baligh (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 22: 212-214).
Ketiga: Orang yang melakukan akad adalah sebagai pemilik barang atau alat tukar, atau bertindak sebagai wakil.
Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud no. 3503, An Nasai no. 4613, Tirmidzi no. 1232 dan Ibnu Majah no. 2187. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih).
Di antara salah satu bentuk dari menjual belikan barang yang belum menjadi milik kita ialah menjual barang yang belum sepenuhnya diserahterimakan kepada kita, walaupun barang itu telah kita beli, dan mungkin saja pembayaran telah lunas. Larangan ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan,
وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ مِثْلَهُ
“Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525).
Ibnu ‘Umar mengatakan,
وَكُنَّا نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ.
“Kami biasa membeli bahan makanan dari orang yang berkendaraan tanpa diketahui ukurannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari tempatnya” (HR. Muslim no. 1527).
Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar juga mengatakan,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali” (HR. Muslim no. 1527).
Bentuk serah terima di sini tergantung dari jenis barang yang dijual. Untuk rumah, cukup dengan nota pembelian atau balik nama; untuk motor adalah dengan balik nama kepada pemilik yang baru; barang lain mesti dengan dipindahkan dan semisalnya.
Bentuk pelanggaran dalam syarat jual beli ini adalah seperti yang terjadi dalam jual beli kredit dengan deskripsi sebagai berikut:
Pihak bank menelpon showroom dan berkata “Kami membeli mobil X dari Anda.” Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: “Silakan Anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.”
Bank pada saat itu menjual barang yang belum diserahterimakan secara sempurna, belum ada pindah nama atau pemindahan lainnya. Ini termasuk pelanggaran dalam jual beli seperti yang diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar di atas.
Hadits Tentang Larangan jual beli Mulamasah, Mudzabanah, dan Muhakolah

و عن ابى سعيد قال : نهى رسول الله ص م عن الملامسة والمنابداة فى البيع و الملامسة لمس الرجل ثوب الاخر بيده باليل او بالنهار ولا يقلبه و المنابدة ان ينبد الرجل الى الرجل بثوبه وينبد الاخر بثوبه ويكون دلك بيعهما من غير فظر ولا تراض
“Rasulullah melarang jual beli barang secara mulamasah dan munabazah. Mulamasah, pembeli hanya memegang kain (baik di siang maupun di malam hari) tanpa dibolak-balik terlebih dahulu. Munabazah, penjual melemparkan kain kepada pembeli, dan kemudian kembali dilempar kepada penjual. Penjualnya hanya didasarkan atas saling percaya”. (HR. Al-Bukhary, Muslim; Al-Muntqa II: 319).

“Rasulullahmelarangkitadarimuhaqalah (menjualbuah yang masihdalamtandannya), mukhasarah (menjualbuah-buahan yang belumdapatdimakan), munabazah, mulamasahdanmuzabanah (menjualbuah-buahandengankurmasecarasukatan)”

Hadits tersebut menunjukkan bahwa cara penjualan muhaqalah, mukhalash, munabazah, mulamasah dan mubazanah dilarang. Penjualan gharar (yang mengandung unsur tipuan), seperti menjual ikan yang masih dalam kolam, menjual burung yang masih berada di angkasa. Hal ini disepakati masuk kedalam bagian menjual barang yang belum ada, menjual sesuatu yang belum diketahui, menjual budak yang belum dilihat dan setiap penjualan  yang mungkin dapat menipu pembeli.[11]

Jual Beli Ijon

عن ابى عمر ان النبى ص م نهى عن بيع التجارحتى يبدو صلاحها. نهى البائع والمبتاع
“Bahwasanya Nabi saw melarang kita menjual buah-buahan sebelum nyata baik (matang)nya. Larangan tersebut berlaku terhadap sipenjual dan sipembeli”. (HR. Al-Jamaah selain At-Turmudzy; Al-Muntaqa II:331)

و عن انس, ان النبى ص م نهى عن بيع الثمرة حتى تزهى. قالوا : وما تزهى ؟ قال "تحمر". وقال ادا منع الله الثمرة فبم تستحل مال اخيك ؟
“Bahwasanya Nabi saw melarang kita menjual buah-buahan (korma) sehingga berwarna merah. Para sahabat bertanya tentang arti izhak, maka Nabi menjawab “berwarna merah”. Dan Nabi bersabda pula :apabila Allah menimpakan bencana atas buah itu, maka dengan apa engkau menghalalkan harta saudaraengkau”. (HR. Al-Bukharydan Muslim; Al-Muntaqa II: 331)
Hadis tersebut menyatakan bahwa tidak boleh menjual buah-buahan sebelum nyata merahnya. Karena apabila kemudian ternyata buah-buahan tersebut gagal menjadi buah (busuk) tentulah akan menimbulkan kerugian bagi pihak pembeli.
Dhahir hadis ini menyatakan bahwa menjual sesudah buahnya baik (matang) adalah sah. Baik disyaratkan buah itu tetap dibatangnya sampai dipetiknya ataupun tidak. Larangan menjual sesuatu dengan memakai syarat tidak dapat diterapkan disini. Bahkan hadits sendiri menandaskan bahwa yang demikian itu boleh, jika disyaratkan oleh pembeli maupun penjual. Mengenai memperjual-belikan tanaman yang sudah hijau, asal disyaratkan bahwa tanaman itu dipotong oleh pembeli dibolehkan. Ibnu Hazm membolehkannya tanpa syarat, karena larangan hanya mengenai biji-bijian seperti padi. Jelasnya,hadis ini melarang kita menjual biji seperti padi sebelum keras bijinya dan menjual tungkul berwarna putih.[12]

Jual Beli Wafa'
1.      Pengertian Jual Beli Wafa’
Jual beli dengan peryaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni disaat penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual. Disebut sebagai jual beli wafa’ (pelunasan), karena ada semacam perjanjian dari si pembeli untuk melunasi hak penjual, yakni mengembalikan barangnya, kalau si penjual mengembalikan uang bayarannya.
Dalam jual beli ini terdapat hukum-hukum jual beli, misalnya si pembeli boleh memanfaatkan barang dagangannya dengan penggunaan dan pemanfaatkan yang benar. Ia bisa menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa  izin si penjual. Jual beli ini juga mengandung hukum pegadaian.
2.      Hukum dari jual beli wafa’
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli wafa’ ini.
Diantara ulama ada yang menganggapnya sebagai jual beli yang sah, karena ia dibutuhkan. Kebutuhan kadang bisa menempati kedudukan (sama hukumnya dengan) kondisi darurat.
Diantara mereka ada yang menganggapnya sebagai pegadaian yang sah, sehingga hukum-hukum pegadaian berlaku didalamnya.
Diantara ulama ada juga yang menganggapnya sebagai jual beli yang rusak, karena adanya syarat saling mengembalikan.
Ada juga diantara ulama yang memandangnya sebagai jual beli model baru yang menggabungkan antara jual beli sah, jual beli rusak dan pegadaian. Namun tetap dianggap sebagai jual beli yang disyariatkan karena kebutuhan.
Yang benar, bahwa jual beli semacam itu tidak dibenarkan, karena tujuan yang sebenarnya adalah riba, yakni dengan cara memberikan uang untuk dibayar secara tertunda, sementara fasilitas penggunaan barang yang digunakan dalam perjanjian dan sejenisnya adalah keuntungannya.[13]

Jual Beli Ghoror
Jualbeli ghoror adalah jual-beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rosulullah bersabda:
لا تشترو االسمك فى الماء فاءنه غرور
“ janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli sepertui itu termasuk gharar( menipu )” ( HR.Ahmad)
Menurut Ibn Jazi  Al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 (sepuluh) macam, yaitu :
1.      Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungannya.
2.      Tidak diketahui harga dan barang.
3.      Tidak diketahui sifat barang atau harganya.
4.      Tidak diketahui ukuran barang dan harganya.
5.      Tidak diketahui masa yang akan datang, seperti “saya jual kepadamu jika Zaed datang”.
6.      Menghargakan dua kali pada satu barang.
7.      Menjual barang yang diharapkan selamat.
8.      Jual-beli husha’, misalnya pembeli memegang tongkat, jika tongkatnya jatuh maka wajib membeli.
9.      Jual-beli munabadzanah, yaitu jual-beli dengan cara lempar-melempari, seperti seseorang melempar bajunya, maka jadilah jual-beli.
10.  Jual-beli mulamasah apabila mengusap baju atau kain, maka wajib membelinya.[14]

IV.            KESIMPULAN
Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang secara bahasa adalah tukar menukar, sedangkan menurut istilah adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’ atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak. Hukum melakukan jual beli adalah boleh (جواز) atau (مباح). Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat macam :Jual beli salam (pesanan), Jual beli Muqayyadah (barter), Jual beli Muthlaq, Jual beli alat penukar dengan alat penukar. Transaksi ekonomi maksudnya adalah perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi. Misalnya pada kegiatan jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, ataupun kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Jual beli wafak merupakan Jual beli dengan peryaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni disaat penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual. Disebut sebagai jual beli wafa’ (pelunasan), karena ada semacam perjanjian dari si pembeli untuk melunasi hak penjual, yakni mengembalikan barangnya, kalau si penjual mengembalikan uang bayarannya.






 Daftar Pustaka
Mardani, Ayat dan Hadist Ekonomi Syariah, Jakarta
Posted by Majelis Penulis at 06.40
http://majelispenulis.blogspot.co.id/2013/10/etika-jual-beli-dalam-islam.html
Oleh: Muhimmatul Husna
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
Al Mulakhosh Al Fiqhiy, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al Fauzan, terbitan Darul Ifta’, cetakan kedua, 1430 H.
Syarh ‘Umdatul Fiqh, Syaikh Prof. Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan keenam, 1431 H.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 17 Rabi’uts Tsani 1433 H
www.rumaysho.com Sumber : https://rumaysho.com/2306-aturan-jual-beli-2-syarat-bagi-orang-yang-melakukan-akad-jual-beli.html
http://ayatnhaditsjualbeli.blogspot.co.id/2014/04/ayat-dan-hadits-jualbeli.html